Dua Douwes Dekker yang mewarnai sejarah Bangsa Indonesia
Ada dua Douwes Dekker yang begitu sangat berperan dalam sejarah Indonesia modern. Mereka berbeda umur 59 tahun. Eduard lahir 1820 dan Ernest lahir di tahun 1879. Kita bahas pelan-pelan satu persatu dari yang paling tua :
Eduard Douwes Dekker. Terkenal juga dengan nama pena sebagai Multatuli. Dia lahir di Amsterdam 2 Maret 1820. Pada tahun 1838, dalam usia yang masih belia (18 tahun) dia pergi ke Hindia Belanda untuk bekerja sebagai pegawai negeri (Ambtenaar). Tibalah dia di Batavia pada tahun 1839.
Dia memulai karirnya di Hindia Belanda sebagai ambtenaar di Kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia bekerja Sumatera Barat dan Kemudian di Natal, Sumatera Utara. Selanjutnya beberapa kota di Indonesia pernah menjadi tempatnya bekerja, tercatat dia pernah di Purwakarta, Purworejo, Manado, Ambon.
Lalu dia pulang ke Belanda 1852 (32 tahun). 3 tahun kemudian 1855 dia kembali ke Batavia. Satu tahun kemudian 1856 (umur 36 tahun) dia bertugas sebagai asisten residen Lebak disebelah selatan kerasidenan Banten yaitu Rangkasbitung.
Di Rangkasbitung inilah yang akan menjadi ilham karya tulisnya yang sangat terkenal, Max Havelar. Dia melihat keadaan masyarakat yang sangat buruk akibat penjajahan pemerintah kolonial. Eduard melihat rakyat begitu diperas oleh kerja rodi. Mereka dipaksa memberikan hasil bumi dan ternaknya kepada penguasa.
Konflik , drama dan kemarahan begitu mewarnai masa-masa dia tinggal di Rangkasbitung, Lebak. Dia tinggal di Rangkasbitung tidak lebih dari 3 bulan dan kemudian kembali ke Eropa.
Pada tahun 1859, di Brussel Belgia dia mengeluarkan buku yang begitu menggemparkan daratan Eropa yaitu Max Havelaar, dengan menggunakan nama pena Multatuli.
Max Havelaar, bercerita tentang bobroknya pemerintahan kolonial di Hindia Belanda yang begitu memeras dan diibaratkan menghisap darah pribumi untuk kemakmuran hidup mereka di Eropa. Cerita ini begitu menggugah banyak pihak, yang tadinya menganggap bahwa ekspansi Belanda ke Timur adalah hal yang baik-baik saja.
Tidak lama kemudian diilhami oleh buku Max Havelaar, lahirlah kebijakan Politik Etis. Sebuah politik balas budi pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat pribumi, dengan menyediakan infrasturktur yang lebih baik juga pendidikan. Dari pendidikan kepada pribumi inilah yang nantinya akan melahirkan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia.
Ernest Douwes Dekker. Lahirnya sudah di Hindia Belanda 8 Oktober 1879, juga dikenal dengan nama Danudirja Setiabudhi. Apakah mereka dua Douwes Dekker ini ada hubungan kekerabatan? Ya benar, kakek dari Ernest, bernama Jan, adalah adik dari Eduard (Multatuli).
Ernest lahir di Pasuruan Jawa Timur. Pendidikan Dasar ia peroleh di kota kelahirannya di Pasuruan Jawa Timur. Selanjutnya dia lanjutkan sekolah ke Surabaya dan HBS di Batavia.
Selepas lulus sekolah, dia kerja di sebuah perkebuna kopi di Malang. di tempat itu dia melihat kelakuan yang semena-mena terhadap pekerja kebun dan sering kali membela mereka. Lalu ia pindah ke Krasakan dan akhirnya dipecat karena sering terlibat konflik dengan perusahaan karena membela pekerja lainnya.
Tahun 1899 (usia 20 tahun) ia ke Afrika Selatan, dan terlibat dalam Perang Boer Kedua. Dai tertangkap dan dipenjara di Ceylon, di sana ia memperlajari kesusastraan India, dan membuka wawasannya tentang ketidak adilan pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1902 ia kembali ke Hindia Belanda. Kemampuannya menulis membuat dia akhirnya memperoleh pekerjaan yang elit di Semarang di sebuah harian De Locomotief. Pekerjaan jurnalistiknya membuat dia begitu kritis pada pemerintah. Apalagi ketika ia menjadi staf redaksi di Bataviaasch Nieuwsblad, dia semakin ketara membela pribumi dan kaum Indo.
Rumahnya di Batavia sering menjadi tempat berkumpul perintis gerakan kebangkitan nasional seperti Dr Cipto dan Soetomo, yang kemudia melahirkan gerakan Boedi Oetomo.
Tahun 1912 bersama dengan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan Cipto Mangunkusumo, Ernest Douwes Dekker mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). IP adalah sebuah partai inklusif yang berhaluan Nasionalis. Mereka bertiga kemudian dikenal dengan Tiga Serangkai.
Kesamaan dari dua Douwes Dekker ini adalah ketidakrelaannya menyaksikan penderitaan rakyat kecil, dan berjuang dengan cara menulis, yang satu menulis fiksi, dan yang satunya pernah bekerja sebagai jurnalis. Dua Douwes Dekker telah mencatatkan namanya dalam sejarah modern Republik ini.
~dari berbagai sumber~
Baca juga : Schadenfreude yang terjadi di peristiwa pengumuman cawapres Jokowi